Hati yang penuh syukur, bukan saja merupakan kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan pula induk segala kebajikan yang lain.
(Cicero)


Ayo Makan Tiwul Lagi  

Minggu, 05 Agustus 2007

Kenaikan harga BBM yang kalau dirata-rata sebesar 100% telah diumumkan oleh pemerintah sungguh merupakan kejutan meski dari jauh-jauh hari perihal kenaikan sudah menjadi pengetahuan bersama. Dan belum lagi kejutan itu hilang, tiba-tiba saja kita kembali dikejutkan oleh rentetan ledakan bom yang kembali menguncang pulau Bali. Nampaknya penderitaan masih terus saja menimpa kita bangsa kita. Berbagai krisis terus berlanjut dan sulit dihentikan entah karena tidak ada yang becus atau kurang serius dalam menanganinya. Beberapa saat sebelum pemerintah ‘menyulap’ harga BBM. tanda-tanda penderitaan yang sangat mulai menyeruak di pelbagai daerah. Batang tebu mulai diserbu karena tak ada lagi uang untuk membeli minyak tanah yang disamping karena langka harganya membumbung seenak perut penjualnya. Beberapa hari yang lalu, seorang teman yang bekerja di daerah pesisir mengirim SMS yang berisi pertanyaan tentang bagaimana mengolah buah bakau untuk menjadi makanan. Sesaat ketika memikirkan dan mencari jawaban atas pertanyaan itu tiba-tiba di televisi muncul tayangan berita tentang masyarakat di suatu daerah yang mulai membuat gaplek, bukan untuk dijual tetapi untuk dikonsumsi menjadi makanan pokok karena tak mampu lagi membeli beras.

Tiwul adalah makanan yang diolah dari gaplek, sebagai makanan pokok tiwul dulu popular di jaman orde lama dan pelan-pelan mulai tergusur di kala jaman orde baru kecuali di Kabupaten Gunung Kidul, DIY saat hujan lama tak turun. Diluar itu tiwul justru naik pangkat jadi jajanan sekunder yang bisa ditemui di pasar-pasar tradisional atau bahkan kadang-kadang bisa ditemui dalam acara-acara eklusif yang dihadiri dan dicicipi oleh orang-orang kaya, sambil tak lupa mengatakan ternyata tiwul enak juga. Bisa jadi tiwul memang enak kalau diolah dengan gula dan bumbu yang baik serta sesekali saja memakannya. Tapi kalau untuk makanan sehari-hari tentu saja tidak, apalagi pilihan untuk memakan tiwul bukan sekedar untuk bernostagia atau menikmati sajian tradisional yang eksotis melainkan karena tak mampu lagi membeli beras yang harganya terus melejit.

Esok jika semakin banyak orang mulai memasukkan kembali tiwul dalam daftar makanan pokok, maka bisa dikatakan jaman kemelaratan telah datang kembali ke negeri kita ini. Kehadiran gaplek dan tiwul kembali dalam masyarakat kita adalah kenyataan yang harus diterima sebagai bagian dari penderitaan yang tak juga beranjak meninggalkan bangsa ini. Sanggupkah kita menerima kenyataan ini?. Kesanggupan rakyat tentu saja sudah teruji, rakyat selalu sanggup bertahan dalam situasi yang dihadapi untuk terus mempertahankan kehidupannya. Yang justru perlu ditanyakan adalah kesanggupan para penyelenggara pemerintahan, adakah mereka mampu dan sanggup menjaga rakyat yang makin menderita tanpa menimbulkan keributan, frustasi massal dan kerusuhan social.

Dalam kondisi seperti ini rakyat tak perlu obral janji dari pemimpin yang mengatakan akan menyelesaikan krisis dengan cepat. Rasa-rasanya kita saat ini tak perlu pemimpin yang dapat mengatasi krisis ini, yang diperlukan justru kehadiran pemimpin yang dapat dipercaya dan sanggup meyakinkan rakyat untuk menegakkan etika politik yang meninggalkan kepentingannya sendiri dan kelompok pendukungnya untuk mencapai kompromi dalam mengatasi penderitaan rakyat secara bersama. Etika politik yang berdasar pada kejujuran untuk lebih mengutamakan rakyat yang menderita, dan bukan pada impian-impian demokrasi yang justru kerap ditunjukkan lewat busa-busa politik murahan dalam panggung partai, parlemen dan kabinet. Sebuah pemerintah yang tidak semata-mata takhluk kepada ekonomi pasar dan menjadikannya sebagai juri untuk menentukan harga bahan-bahan kebutuhan pokok rakyat banyak.

Seorang mantan penguasa menyatakan bahwa bom Bali II adalah ekspresi kemarahan atas kenaikan harga BBM. Mungkin ini sebuah pernyataan yang sangat premature atau bahkan ngawur. Namun benar kalau banyak orang marah atas kenaikan harga BBM, namun yang lebih benar lagi adalah banyak orang hanya bisa pasrah atas kenyataan ini. Sebuah kepasrahan yang mencerminkan adanya ketidakadilan dalam hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hubungan yang meletakkan segala sesuatu yang berkaitan dengan dalil dan dalih untuk mendasari hitung-hitungan atas kenaikan harga BBM hanya ada di tangan pemerintah. Demikian juga yang berkaitan dengan dana kompensasi yang diberikan secara langsung dan tunai kepada masyarakat miskin, apapun itu penentuan, proses dan penjelasan mengenai keuntungannya hanya berasal dari pihak pemerintah.

Keputusan pemerintah untuk ‘menyulap’ harga BBM mau tak mau akan menghentikan angan-angan kita untuk menghapuskan kemiskinan di negeri ini. Jurang antara orang kaya dan miskin akan bertambah lebar. Peningkatan sumberdaya manusia baik dari sisi kesehatan dan pendidikan yang selama ini digembar-gemborkan bisa jadi seperti langkah laku latah belaka. Sebab kita justru harus menerima penderitaan lahir batin yang tak mungkin kita singkiri. Sebagian besar dari kita tak mungkin bisa lari darinya, sehingga mau tidak mau harus berlatih diri untuk menerima dan mulai belajar untuk menyembuhkannya. Orang bijak berkata penderitaan dapat mendewasakan kita, termasuk kita sebagai bangsa. Penderitaan akibat naiknya harga BBM ini semoga bisa menjadi ruang bersama untuk membangun solidaritas bersama guna mengatasi permasalahan krisis dewasa ini; mampu mengantar kita untuk mengakui segenap kelemahan sebagai bagian dari komponen bangsa. Maka wahai para pembesar negeri dan para kaum berlebih, tunjukkan keberanian anda untuk sama-sama ikut menderita dengan bersama-sama makan tiwul lagi.

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


0 komentar: to “ Ayo Makan Tiwul Lagi

 

Design by Amanda @ Blogger Buster

Google Custom Search

Kolom blog tutorial