Dakwah Lingkungan Hidup
Minggu, 05 Agustus 2007
Rentetan bencana yang terjadi terus menerus di berbagai wilayah Indonesia, mau tidak mau membangkitkan kekhawatiran mengenai kelangsungan hidup ‘bumi’ Indonesia. Bumi tempat kita berpijak ini nampaknya secara perlahan dan pasti sedang menampakkan ‘tanda-tanda kiamat’. Wacana kiamat sendiri bukanlah sesuatu yang asing bagi kita; kaum seminaris (para penggila seminar) sudah lama membahas permasalahan dan bergulat dengan kecemasan tentang kerusakan lingkungan yang akut; yang mana bisa menghantar kita ke tepi jurang kehancuran lantaran ulah kita sendiri. Memang tidak semua bencana adalah cermin ulah manusia, karena ada sebagian bencana yang terjadi di luar kendali manusia (akibat dinamika alamiah semata). Namun jelas terlihat didepan kita bahwa penjarahan sumber-sumber alam yang kelewatan, konversi lahan dan tata guna lahan yang sembrono telah menghasilkan banjir bandang dan deretan longsoran di mana-mana, yang akumulasi jumlah kerugian dan korbannya tak kalah besarnya dengan bencana alam yang sungguh-sungguh bisa dikatakan sebagai bencana alamiah.
Sudah bertahun-tahun kegundahan terus terlontar - tapi kondisi kita justru semakin lama semakin buruk dan alam kini berubah menjadi ancaman bagi nyawa manusia yang berdiri diatasnya – dan kita tak juga menemukan solusi yang tepat untuk memperbaikinya. Hutan terus dibabat hingga tuntas, kemudian bukit gundul (belukar) diratakan bahkan digali untuk mengambil ‘dollar hitam’ yang ada didalamnya hingga menimbulkan lubang-lubang raksasa di mana-mana. Asap ‘kebakaran rutin’ saat musim kemarau bahkan sampai membuat ‘sesak nafas’ negeri tetangga, tapi toh kita tetap santai-santai saja seolah tak peduli, kalaupun ada aksi ‘peluru-nya’ pun kebanyakan berasal dari kepedulian pihak luar negeri.
Bumi kita kian renta dan sakit-sakitan. Dan seperti biasa kita selalu tersentak di saat terdesak (dihantam krisis), kita mulai sadar bahwa bumi kita kaya disaat kekayaan itu mulai terkikis habis, kehilangan ketika sesuatu tak lagi kita miliki. Tapi biarlah sekalipun terlambat saat ini masih terbentang kesempatan untuk memperbaikinya. Krisis lingkungan hidup pada dasarnya merupakan cermin telanjang dari krisis spiritual kita sendiri. Spirit yang berpusat pada kepentingan sendiri (manusia) membuat kita tega ‘memperkosa’ bumi dan segala isinya atas nama pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan bahkan hak asasi manusia. Alam dan isinya kita perlakukan sebagai objek untuk dikuasai dan ditahklukan (dikuras habis-habisan) dibawah ukuran-ukuran yang menempatkan manusia sebagai penguasa alam dan segenap isinya.
Akhir-akhir ini banyak organisasi, kelompok bahkan gerombolan berbasis agama dan etnis dengan tegas melawan berbagai masalah krisis moral berkaitan dengan pornografi, seks bebas, pelacuran, miras, narkoba, dan lain-lain. Suaranya amat lantang dan aksi-aksinya juga selalu menarik perhatian media. Andai saja semua perjuangan itu berhasil, dimana pelacuran, pornografi, miras, narkoba dan lain-lain nihil atau absen dari Indonesia maka nikmatnya hidup dibawah ‘rezim moral’ barangkali tak terlalu banyak artinya. Betapa tidak karena pada masa yang sama, bencana susul menyusul, Indonesia porak poranda, kesibukan kita dari hari kehari adalah kegiatan tanggap darurat melulu.
Dalam arti yang sangat luas, agama sebagai rahmat Ilahi adalah jalan untuk mewujudkan alam sebagai tempat tinggal yang nyaman dan aman bagi manusia serta mahkluk hidup lainnya. Lingkungan hidup yang sehat, aman dan nyaman sesungguhnya adalah rahmat yang sangat istimewa, membuat mereka yang berdiam diatasnya juga akan memperoleh kesehatan baik jiwa maupun raga. Manusia yang sehat, baik dari sisi fisik dan psikis niscaya akan lebih mudah untuk menolak godaan-godaan duniawi. Manusia sehat dan hidup dalam lingkungan yang sehat tidak akan mudah digoda untuk mengunjungi ‘Kuil-kuil nafsu duniawi’ yang menyajikan kenikmatan-kenikmatan sesaat.
Maka sudah saatnya perhatian para kaum moralis dan religius diarahkan pada persoalan lingkungan hidup dan kesinambungan alam. Perhatian yang terlalu tertuju pada praktek moral orang lain hanya akan membuat kita abai pada persoalan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup kita secara fundamental. Memelihara kesehatan dan keseimbangan lingkungan, menjadi persoalan yang sangat mendesak dan pantas untuk kita galakkan secara ‘garang’. Kita barangkali bisa membebaskan perempuan dan anak-anak dari tindak perkosaan, tapi jika pada saat yang sama ‘perkosaan’ massal terhadap sumberdaya alam dan lingkungan hidup terjadi dimana-mana maka perempuan dan anak-anak akan tetap menjadi korban terbesar dari luapan sahwat dan nafsu dalam wajah yang lain.
Menjaga dan mempertahankan kesehatan serta keseimbangan lingkungan adalah persoalan yang sangat berat. Oleh karenanya tanggungjawab untuk itu harus dipikul bersama, dilakukan secara terus menerus dan harus serempak. Dalam pada itu, sudah saatnya bagi kaum agamawan profesional (orang yang membaktikan diri dan beroleh kehidupan dari lapangan agama), untuk merubah pendekatan dan paradigma atas bencana alam dan lingkungan. Bukan saatnya lagi kita hanya datang sebagai pelipur lara umat yang didera bencana, memohon mereka sabar dan tawakal sembari mengingat-ingatkan bahwa ini adalah peringatan dan ujian dari Sang Kuasa. Kini saatnya bagi para agamawan profesional untuk berdiri di barisan paling depan, menentang perusakan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan. Lawan dan tundukkan sahwat para pemburu rente yang hanya bernafsu merampok dan memperkosa bumi di negeri ini, tapi tak pernah mengakui dan peduli apa yang akan terjadi nanti. Ingat!!, bukankah nenek selalu bilang “Mencegah selalu lebih baik dari pada mengobati”.
0 komentar: to “ Dakwah Lingkungan Hidup ”
Posting Komentar