Hutan Hilang, Agama Melayang
Rabu, 08 Agustus 2007
Dari : Advetorial Kebudayaan Naladwipa (Kaltimpos 1 Juni 2007)
Oleh : Bisri Effendy (Peneliti LIPI)
Keseimbangan makrokosmos-mikrokosmos menjadi amat penting dalam tradisi komunitas adat kita. Gonjang-ganjing Yogyakarta beberapa waktu lalu dipahami, oleh sebagian besar warga daerah itu, sebagai kemarahan ‘gunung merapi’ dan ‘ratu selatan’. Maka slametan pun lalu digelar secara kolektif maupun individu, termasuk mbah Marijan sendiri harus bersemedi manjatkan mantra sambil menghunus keris. Mereka meminta agar kemarahan itu berganti ‘kemesraan’. Dalam tradisi masa lalu, keseimbangan itu selalu ‘ditebus’ dengan berbagai ritual yang diselenggarakan secara rutin khusus untuk itu. Bersih desa, sedekah bumi, dan petik laut adalah beberapa ritual membangun keseimbangan yang berlaku di pulau Jawa, dan di tempat lain hal serupa juga terselenggara dengan nama yang berbeda.
Tanah, laut, kuburan, pohon, gunung, goa, burung, sungai, dan kekayaan flora-fauna lain tampaknya menjadi penting bagi warga komunitas kita. Hasil-hasil riset antropologis dari pedalaman Kalimantan, Kanekes, Kajang, dan Tengger mengabarkan bahwa komunitas adat dan lingkungannya berupa hutan adalah satu kesatuan integratif. Hutan bagi mereka adalah gantungan hidup (staff of life). Dari, di dalam, dan kepada hutan mereka merajut tatanan kehidupan dan menyusun survival strategic (strategi kelangsungan) hidup.
Lebih dari itu, tanah, pohon, gunung, goa, burung, dan sungai bagi komunitas seperti Dayak, Kajang, dan Kanekes adalah bagian tak terpisahkan dari agama (bukan dalam arti negara) mereka. Agama ketiga komunitas tersebut adalah paket kesatuan dalam hidup dan kehidupan. Tidak ada perbedaan antara aktivitas religius dengan yang non-religius. Aktivitas-aktivitas itu hidup dalam sebuah kesatuan sistem kebudayaan yang mengintegrasikan usaha nafkah hidup dan kegiatan spiritual. Berbeda dengan pandangan modernis dan puritan yang melihat agama dan adat sebagai kategori terpisah, orang Dayak, seperti halnya komunitas-komunitas lokal di daerah lain, tidak mengenal suatu pemisahan antara adat dan agama karena mereka tidak memerlukan pembedaan tersebut.
Oleh sebab itu, kaum modernis dan puritan menyebut mereka sebagai penyembah kayu, batu, air, dan benda-benda lain yang dihakimi sama dengan penyembah berhala. Kepercayaan mereka disebut animisme yang meyakini bahwa benda-benda dan gejala-gejala itu mempunyai kekuatan hidup dan menghidupkan. Sebuah kesimpulan yang amat berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya, karena bagi orang Dayak, misalnya, benda atau gejala tertentu tidak mempunyai daya hidup maupun kekuatan penghidup. Gejala alam itu hanya dilihatnya sebagai hierofani, artinya bahwa roh-roh telah menampakkan diri dalam gejala alam tertentu, dan tempat penampakannya adalah tempat keramat.
Sebagai bagian integratif dari agama, hutan (tanah, gunung, goa, pohon, sungai, dan burung) adalah sesuatu yang amat penting keberadaannya. Menjaga, merawat, dan melestarikan semua itu adalah keniscayaan yang tak mungkin diingkari, karena tanpa hutan, keber-ada-an dan eksistensi agama itu menjadi suatu yang mustahil. Meski bukan satu-satunya sebab karena modernisasi pendidikan dan agama juga ikut berperan penting, pembabatan hutan seperti di Kalimantan Timur ini mengantarkan agama Dayak sirna nyaris tak berbekas. Kaharingan atau Bungan Malam, juga Tamai Tangai, kini melayang dari ingatan individu maupun kolektif orang Dayak, bersama lenyapnya gunung, goa, pohon, dan burung.
0 komentar: to “ Hutan Hilang, Agama Melayang ”
Posting Komentar