Indonesia – Not for Sale
Senin, 13 Agustus 2007
Pekan ini kita merayakan 62 tahun kemerdekaan Indonesia. Banyak kisah bisa diceritakan perihal kemerdekaan. Tapi yang pasti selama jaman merdeka ini orang Indonesia dikenal sebagai orang yang suka tersenyum – smilling people – meski tidak selalu berarti ramah ( karena senyum kadang juga mencerminkan rasa kecut). Satu lagi makin hari orang Indonesia juga semakin gemar memakai istilah-istilah yang diambil dari bahasa Inggris. Akibat makin banyak kosa kata Inggris masuk dalam alur percakapan yang berbasis bahasa Indonesia. Hingga ada pakar yang berani memprediksi akan lahirnya Indonenglish, atau bahasa gado-gado antara Indonesia dan Inggris. Gejalanya lihat saja gaya bicara para ‘Gen-MTV’ kita, atau para ‘EsMud’ yang kerap hang out atau party di café-café serta tempat dugem lainnya.
Dalam dunia pemasaran dan perdagangan pemakaian istilah-istilah berbau Inggris juga mudah kita temukan. Istilah supermarket, mall, sale atau sales, discount, expo, fried chicken, chicken nugget, dan lain-lain, makin akrab di telinga dan meluncur mulus dari mulut kita. Pendek kata banyak barang dan jasa mulai ditawar-tawarkan dalam bahasa Inggris seperti house for sale, car dan bike for rental, massage for health mengatasi capek-capek – please call me at xxx – no sms, obat manjur – orisinil import from Amerika, tempe goreng crispy – melayani delivery order, ketinting rivershipway – tiket online fast and cheap, mampirlah ke jingo café – tempat fun and funky for santai-santai. Soal gemar menawarkan segala sesuatu dengan istilah berbau ke-Inggris-inggris-an sebenarnya tidak salah atau sah-sah saja. Sebab dalam urusan jual menjual para pelakunya sejatinya adalah penganut yang taat dari agama ‘jual sebanyak mungkin dengan untung sebesar-besarnya’ maka segala jalan yang memungkinkan untuk mencapainya akan ditempuh juga.
Maraknya industri property memang memperkuat atmosfer ke-Inggris-Inggrisan di sekitar lingkungan kita. Para developer dan realtor berlomba-lomba untuk merayu para calon pembeli dengan istilah-istilah seperti di luar negeri sana. Lihat saja iklan real estate yang kini bertebaran di media advertensi baik upline maupun below the line. Disana kita bisa mendengar, melihat dan membaca penawaran tentang Lippo City, Sudirman Square, Citra Gran City, Mediteranian City House, Mahakam River Side, Grand Mahakam, City Lake Side, Balikpapan Superblock, dan lain sebagainya. Entah apakah ini merujuk pada gejala latah, gagah-gagahan atau bahkan tanda-tanda bahwa mereka tak lagi cinta Indonesia. Namun lebih jauh dari itu, gejala ini menunjukkan bahwa para pemodal tidak sekedar menguasai dan menentukan perekonomian di negeri ini melainkan juga turut menentukan perkembangan bahasa harian dalam kehidupan masyarakat kita. Lewat bahasa para pemodal tidak sekedar ingin menunjukkan kecenderungan kebangsaannya melainkan juga kekuasaan ekonomi atau uangnya. Kalau sudah begini, maka jangan heran kalau esok-esok saat iseng berkenalan kita akan mendengar jawab “Gue Riri, tinggal di Black Orchid Road, blok Venesian, perumahan Mahakam River Side Square, Lipan Hill, Samarinda Seberang”. Alamak Riri, kamu tinggal di negeri mana?.
Dalam urusan jual menjual, yang ditawar-tawarkan bukan sekedar barang atau jasa saja, sebab saat ini tanah air kita tercinta juga termasuk salah satu yang di ‘perjual-belikan’ kesana kemari dibawah panji privatisasi, sebuah langkah yang dianggap sebagai keniscayaan di jaman ini. Meneruskan tradisi pemimpin-pemimpin sebelumnya maka SBY dan MJK-pun giat bergantian berkunjung keluar negeri. Dan pengakuan sebagai ‘salesman’ kelas wahid-pun diberikan kepada SBY oleh peserta pertemuan bisnis saat kunjungannya ke Amerika Serikat. Apapun isi atau milik negeri ini yang mempunyai nilai ekonomis akan ditawarkan lewat berbagai expo, roadshow, bussines gathering dan economical summit, dan lain-lain untuk merayu para fund manager (entah investor betulan maupun pemburu rente) dari luar negeri untuk membelinya. Semangat ‘jual murah dan jual habis (cepat)’ alias fast and cheap sepertinya kini tengah merasuki para pihak yang kita beri mandat untuk menjaga kedaulatan tanah dan air kita ini. Semangat para penyelenggara negara ini mau tak mau mengusik ingatan kita pada jargon yang popular di era Bung Karno yaitu nekolim : neokolonialisme-imperialisme, sebuah jargon yang mengingatkan kita untuk mampu membangun perekonomian bangsa dengan semangat kemandirian (politik berdikari atau berdiri diatas kaki sendiri). Sebuah semangat yang menunjukkan keinginan untuk lepas dari jeratan kolonialisme-imperialisme baru dalam bentuk hegemoni ekonomi dari negara-negara dengan kapital kuat. Dalam konteks ini ‘pengambilalihan’ oleh investor asing atas barang, jasa atau material yang bersangkutan dengan hajat hidup orang banyak lewat skema privatisasi tidak lepas dari bau upaya hegemoni negara ekonomi kuat atas tanah air kita yang kini tengah berada dalam kondisi terjepit. Para pemegang mandat rupanya mulai terserang ‘amnesia konstitusional’ yang mengisyaratkan agar segenap material vital bagi hajat orang banyak harus dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar mungkin untuk kemakmuran rakyat banyak. Konsensus yang dipegang bukan lagi konsensus para pendiri bangsa melainkan ‘Washington Concensus’ yang dirumuskan bersama dengan ‘Tritunggal Tidak Suci – Unholly Trinity’ (World Bank, IMF dan WTO) yang bertujuan agar laju perkembangan perekonomian Indonesia punya potensi kuat untuk melakukan pembayaran utang dengan lancar.
Seruan “Stop Privatisasi!, Hentikan Penjualan Aset-Aset Nasional ke Tangan Asing!” kini semakin lantang terdengar karena disuarakan secara terbuka lewat berbagai cara. Seruan ini menandakan adanya semangat ‘awas’ terutama agar hal-hal vital tidak jatuh ke tangan asing dan menjadi alat atau komoditi untuk mengeruk keuntungan atau bahkan menjarah sumber-sumber (simpanan) kekayaan kita. Secara sederhana semangat ini bisa dikatakan sebagai semangat ‘nasionalisme ekonomi’. Sayang seribu sayang seruan seperti ini sering tidak ditanggapi secara serius oleh negara. Bahkan kelompok ini kerap dilabeli sebagai kelompok antiglobalisasi alias anti kemajuan, dianggap sebagai sekelompok perusuh yang tak tahu apa-apa tentang ekonomi, katak dalam tempurung atau bahkan dianggap sebagai pahlawan kesiangan. Nasionalisme ekonomi kerap dianggap menyebar virus yang menganggu pertumbuhan kondisi ‘investor friendly, sehingga investor takut untuk datang menancapkan kuku di negeri ini. Situasi ini sebenarnya agak aneh, sebab nasionalisme ekonomi yang disuarakan oleh rakyat justru hendak mengingatkan pemerintah agar tidak mengembangkan ‘mental pedagang’ dalam mengelola negara dan kekayaan sumber alam kita. Mental pedagang membuat pemerintah sepertinya hanya bernafsu untuk mengumpulkan uang secepat mungkin dan abai terhadap resiko-resiko di masa mendatang. Nafsu berdagang juga membuat pengaruh pemerintah dalam perekonomian dilucuti oleh kekuatan pasar yang dimotori oleh para bisnisman dan ekonom ”hit and run”.
Isu antiglobalisasi sebenarnya adalah isu yang ditiupkan oleh para kapitalis global yang khawatir proyek globalpoli-nya (monopoli di seluruh muka bumi) akan terhambat oleh kelompok masyarakat sipil yang menentang mereka. Kelompok-kelompok yang melawan proyek globalpoli dan pasar bebas dianggap sebagai kelompok yang menghambat pertumbuhan perekonomian negara. Padahal inti sebenarnya dari gerakan nasionalisme ekonomi adalah bukan untuk menyingkirkan aktor ekonomi global, melainkan agar mereka tidak mengerogoti kedaulatan negara dan masyarakat sipilnya. Seruan ini hendak mengajak agar negara peduli dan membela kepentingan rakyatnya bukannya malah bergandengan tangan dengan para ‘pemburu rente’ untuk menyengsarakan rakyatnya. Selama ini negara dan penyelenggara pemerintahan sekurang-kurangnya telah gagal meningkatkan kesejahteraan kaum miskin dan menjamin ketersediaan energi yang terjangkau untuk rakyatnya.
Ketiadaan visi nasionalisme ekonomi dalam jangka panjang membuat pemerintah jatuh dalam manajemen ‘tiba masa, tiba akal’ artinya keputusan untuk melakukan sesuatu diambil saat dalam keadaan terjepit sehingga langkah yang ditetapkan hampir selalu merupakan langkah darurat. Andai rakyat menuntut peningkatan pelayanan publik seperti air dan listrik, maka pemerintah akan menjawab bahwa pelayanan akan meningkat jika rakyat mau membayar lebih alias harga air dan listrik harus dinaikkan. Jika persediaan minyak menipis maka rakyat diminta berhemat, pemakaian minyak dibatasi, atau kemudian harga dinaikkan sehingga daya beli masyarakat akan menurun sehingga otomatis konsumsi minyakpun akan menurun. Demikian juga jika neraca anggaran negara menunjukkan angka defisit, maka pemerintah segera akan mencari obyek-obyek yang bisa dijual dengan harga tinggi, maka perusahaan negara yang punya prestasi dan nilai bagus justru yang dijual agar pemasukan untuk negara juga tinggi. Jadi meski negara memperoleh uang yang lumayan banyak dari hasil menjual perusahaan-perusahaan yang liquid, toh juga tidak banyak menolong memperbaiki keadaan, karena banyak uang itu akan tetap tersedot untuk ‘menalangi’ perusahaan-perusahaan negara yang tersisa alias buruk sehingga tidak laku dijual. Dengan dijualnya atau diserahkannya pengelolaan perusahaan dan obyek-obyek yang mempengaruhi hidup rakyat banyak pada pihak luar niscaya membuat kekuasaan pemerintah atas kehidupan masyarakat menjadi semakin mengecil. Penguasaan atau pengelolaan atas perusahaan dan obyek vital oleh pihak luar pada akhirnya juga akan mengerogoti kedaulatan pemerintah dan rakyat di tanah mereka sendiri.
Jadi kini pertanyaan yang patut diajukan adalah siapa yang sesungguhnya kini berkuasa di negeri demokrasi ini?. Ada banyak jawaban, namun jika kita jeli melihat maka sesungguhnya korporasi-korporasi global (TNC/MNC) adalah pihak yang sangat berkuasa (atau menguasai) negeri ini. Sepak terjang dan strategi canggih mereka mampu mencengkeram kehidupan kita, mereka sanggup menentukan apa yang harus kita konsumsi, apa yang pantas kita pakai, apa yang sehat untuk kita makan dan minum, apa yang kita baca dan tonton, dimana kita layak bekerja, dan gaya hidup seperti apa yang mesti kita jalani. Pendek kata mereka dengan kekuatan jaringan media yang dikuasainya mampu menawarkan citra dan budaya baru yang sulit dihambat laju perkembangannya. Budaya yang oleh Romo Mangun disebut sebagai budaya diaspora, sebuah perilaku yang menunjukkan kegandrungan terhadap produk-produk luar yang pada akhirnya membuat apresiasi masyarakat kita atas produk dalam negeri semakin hari semakin menurun. Akibatnya produk negeri ini menjadi kalah bersaing bahkan saat berada di warungya sendiri. Atas dasar kenyataan ini maka sesungguhnya perlawanan terhadap kecenderungan ini tidak semata-mata bercorak ekonomi belaka, melainkan juga merupakan perlawan sosial dan kultural. Semangat nasionalisme ekonomi yang diusung oleh kelompok masyarakat sipil bukan hendak meniru apa yang dipraktekkan di beberapa negara Amerika Latin akhir-akhir ini. Gagasan yang hendak ditawarkan adalah merevisi subjek ‘kepentingan nasional’ yang selama ini diidentikkan dengan negara atau pemerintah yang ternyata justru sering berakibat pada marjinalisasi kepentingan rakyat kebanyakan. Maka subyek dari nasionalisme ekonomi sejatinya adalah rakyat.
Glorifikasi atau pengagung-agungan yang berlebihan terhadap kekayaan dan keindahan alam Indonesia sudah saatnya harus dihentikan. Ini penting agar rakyat tidak terlena dalam mimpi palsu dan buta terhadap kenyataan bahwa sesungguhnya yang menikmati sebagian besar kekayaan dan keindahan itu hanyalah segelintir orang atau para pemodal. Di banyak tempat bisa dibuktikan bahwa eksplorasi dan eksploitasi atas kekayaan sumber alam yang serampangan baik oleh investor dalam dan luar negeri hanya meninggalkan kesengsaraan dan penderitaan bagi masyarakat yang secara tradisional ‘memiliki’ kawasan tersebut. Andai kekayaan sumber alam terus dikeruk dan dijual ke luar negeri demi mengejar target pendapatan hingga habis nanti apalagi yang hendak kita jual dan sisakan untuk generasi mendatang?. Barangkali hanya sebuah cerita. Cerita tentang sebuah negeri yang kaya raya dan indah tiada tara, hidup bersatu meski berbeda-beda, terbentang dari Sabang sampai Merauke tapi rakyatnya tak pernah sungguh-sungguh sejahtera (merdeka). Hingga kemudian rakyatnya mencari jalan masing-masing untuk memerdekakan dirinya sendiri. Dan akhirnya cerita itu akan ditutup dengan kehancuran sempurna dari bangsa itu karena kehilangan orientasi kemerdekaannya. Jadi jika anda berpikir bahwa Indonesia telah merdeka, tolong pikirkan sekali lagi!!.
0 komentar: to “ Indonesia – Not for Sale ”
Posting Komentar