Paskah dan Habitus Baru
Minggu, 05 Agustus 2007
Minggu ini umat Katolik telah mengakhiri masa pra-Paskah - masa pertobatan – yang diawali pada hari Rabu Abu. Perayaan yang bertujuan untuk mengingatkan, manusia berasal dari abu (tanah) dan akan kembali menjadi abu, dan secara rohani, abu juga melambangkan pertobatan. Masa pertobatan ini akan dipuncaki pada Tri Hari Suci, yaitu Kamis Putih, Jum’at Agung dan Malam Paskah, sebuah rangkaian perayaan yang menghadirkan kembali peristiwa penebusan oleh Yesus melalui kayu salib dan kebangkitan dari kubur.
Perayaan atau Pesta Paskah merupakan peristiswa yang sangat penting karena disana ditunjukkan bahwa Tuhan hadir dalam kehidupan manusia terutama untuk tinggal bersama dengan orang-orang yang menderita dan tertindas (orang sakit, miskin, lapar, dan lainnya). Dan tujuan dari kehadiran-NYA adalah untuk melakukan pembebasan melalui pengorbanan dalam bentuk yang tertinggi yaitu pengorbanan jiwa. Kematian di Kayu Salib merupakan penanda dari perjuangan ‘pembebasan’ untuk menegakkan keadilan, kebenaran dan kedamaian hingga titik darah penghabisan yang berbuah pada Kebangkitan atau Kemuliaan. Dengan demikian Pesta Paskah sekaligus merupakan sebuah peristiwa syukur/kegembiraan dan tugas atau panggilan yang mengajak umat Kristiani untuk mengikuti jejak Yesus. Tentu saja tidak dengan cara disalibkan melainkan dengan turut memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kedamaian dengan menebarkan cinta dan kasih kepada sesama dengan risiko apapun.
Untuk melakukan kontektualisasi dan pemaknaan atas ‘Laku Penebusan’ yang dilakukan oleh Yesus maka Gereja Katolik Indonesia mengajak umatnya untuk melakukan ‘Jihad Melawan Korupsi’. Laku atau praktek tobat social untuk melawan korupsi ini dibingkai dalam tema tema “Membangun Budaya Bebas Korupsi”. Pilihan untuk melawan korupsi ini dilakukan karena korupsi sesungguhnya merupakan bentuk keberdosaan (dusta) terhadap Allah sekaligus manusia (sesama-masyarakat). Korupsi saat ini merupakan penyakit (dosa) social yang paling mengancam segenap sendi kehidupan masyarakat dan menimbulkan berbagai dampak negatif untuk bangsa ini. Korupsi sebagai salah satu bentuk ketidakadaban membuat kita terpuruk dan buruk di mata bangsa lain. Kita yang dulu dikenal sebagai bangsa yang memiliki kepribadian bermutu dan bermartabat kini menjadi bangsa yang kurang beradab akibat perilaku korup di hampir seluruh lini kehidupan. Alhasil ketika hendak memberi bantuan maka bangsa-bangsa lainpun mulai ekstra hati-hati dalam menyalurkan sumbangannya. Korupsi juga telah menghilangkan sendi-sendi kepribadian kepemimpinan bangsa ini, dimana pemimpin dikenal mempunyai dimesi religius dan pengabdian pada rakyat tapi kini berubah menjadi pertunjukkan nafsu keserakahan dan gila hormat-kekuasaan. Maraknya korupsi juga membuat fungsi dan tugas negara dalam mensejahterakan rakyatnya menjadi terhambat karena pemerintah menjadi kurang bernafsu untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang mensejahterakan rakyatnya.
Jika diibaratkan sebagai dosa maka korupsi merupakan dosa yang sangat berat, besar dan luas sehingga butuh ‘penebusan’ segera. Penebusan ini harus dilakukan dengan memutus rantai korupsi. Jalan untuk memutus rantai korupsi pertama harus dilakukan mulai dari diri sendiri dan bukan dengan terlebih dahulu menunjuk atau menyorot orang lain. Dengan demikian didalam naungan cahaya kebangkitan Yesus, umat Katolik diminta untuk berefleksi dan mempertanyakan tindakannya dengan pertanyaan “Korupsikah Aku?”. Kalau jawabannya ‘ya’ maka diminta untuk bertobat dengan berpaling dari perilaku itu dan kembali ke jalan yang benar, kini adalah saat yang tepat untuk menghentikan korupsi. Jika jawabannya ‘tidak’ maka ini adalah kesempatan untuk tetap bertahan dalam tindakan yang benar dengan senantiasa minta kekuatan pada Tuhan agar bisa tetap tegar dan konsisten mempertahankan perilaku tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dan tentu saja juga harus ‘beraksi’ untuk membantu orang lain keluar dari jerat korupsi.
Paskah atau Kebangkitan Yesus akan mempunyai makna jika kita mau menghentikan ‘toleransi’ terhadap praktek dan perilaku koruptif yang terjadi di sekitar kita. Sebab sikap toleran akan membuat korupsi tumbuh menjadi semacam budaya, dimana korupsi bukan dianggap sebagai sesuatu yang memalukan lagi, dilakukan terang-terangan karena dibungkus dalam berbagai istilah yang merujuk sebagai sesuatu yang normal atau sewajarnya saja. Peristiwa dan laku penderitaan Yesus hingga di Kayu Salib merupakan pendidikan bagi kita untuk siap menderita secara sukarela dengan menyadari, menata dan menguatkan kembali sikap hidup yang mengedepankan nilai-nilai kejujuran, keikhlasan, dan keterbukaan. Keserakahan dalam berbagai bentuknya mesti dilawan dengan semangat mau membatasi diri untuk tidak terus mengikuti nafsu-nafsi yang ada dalam masing-masing diri kita.
Akhirnya, Selamat Hari Raya Paskah bagi saudara-saudari seiman dengan harapan semoga kita semua semua mengalami ‘pembebasan’ sehingga bisa hadir kembali dalam keluarga, tempat kerja, tempat belajar, lingkungan sekitar dan warga sebangsa dengan ‘habitus baru’. Habitus atau kebiasaan yang menunjukkan sikap dan tindakan untuk memperjuangkan nilai kejujuran, fairness, keadilan, tanggungjawab, akuntabilitas dan kerja keras dalam memperoleh sesuatu. Apabila kita bersama sebagai satu bangsa mampu membangun ‘habitus baru’ maka budaya anti korupsi akan menjadi gerakan social dalam skala yang luas. Sebab tanpa gerakan seperti ini maka pemberantasan korupsi yang hanya dipelopori atau dimotori oleh pemerintah dan aparat penegak hukum hanya akan berjalan ditempat dan mudah berlalu begitu saja seiring dengan perubahan politik kepentingan dari penyelenggara pemerintahan.
0 komentar: to “ Paskah dan Habitus Baru ”
Posting Komentar