Belajar dari Bougenville
Minggu, 05 Agustus 2007
Bougenville the Evergreen Island, adalah sebuah film documenter tanpa efek-efek sinematografis yang rumit dan genit namun syarat dengan sebuah pelajaran. Kisah bermula dari cerita tentang warga Moroni yang tergusur dari pemukimannya akibat mulai beroperasinya pertambangan tembaga di Pangguna oleh BCL (Bougenville Copper Limited) yang dioperasikan Rio Tinto Australia. Warga yang kemudian dimukimkan dalam pemukiman yang sederhana harus menonton bagaimana operasi salah satu tambang tembaga terbesar di dunia itu merubah pegunungan yang hijau menjadi bentangan bebatuan yang tandus.
Kawah pertambangan Pangguna berkedalaman 500 meter dan lebar 2000 meter yang selama 17 tahun telah menghasilkan buangan limbah (tailing) yang mengandung tembaga dan logam berat beracun lainnya ke sungai terbesar di Bougenville. Akibatnya daerah aliran sungai Jaba dan lembahnya sepanjang 30 km kelihatan bak permukaan bulan. Anak-anak selalu sakit akibat debu dan limbah tambang. Penduduk yang bergantung pada hasil pertanian meratapi tanaman buah dan tanaman pangan lainnya yang rusak.
Kaum perempuan di Bougenville secara tradisional merupakan pemilik hak ulayat atas tanah, menangis melihat tanah mereka kian tandus. Tambang telah merusak kekayaan vegetasi mereka dan sadar bahwa di masa depan tambang tidak meninggalkan apa-apa untuk mereka. Bagi mereka Bougenville disebut Bougenville karena merupakan pulau yang hijau lestari. Mereka kemudian mendirikan asosiasi pemilik lahan (Landonwers Association) dan melakukan serangkaian protes kepada BCL. Namun protes mereka diabaikan hingga kemudian laki-laki mulai ikut turun tangan. Disitulah krisis mulai muncul di Bougenville. Perundingan dan tuntutan ganti rugi terus menerus gagal dan menemui jalan buntu hingga pada akhirnya pada tahun 1988 beberapa pemilik lahan meledakkan menara listrik yang mengalirkan energi ke lokasi tambang. Tambang terhenti dan tak lama berselang datanglah tentara dari Papua Nugini dengan perintah : Tembak ditempat.
Pada tahun 1975, Bougenville sebagai salah satu pulau yang terletak di kawasan kepulauan Solomon dimasukkan sebagai salah satu propinsi Papua Nugini yang baru merdeka. Padahal dari sisi kultural orang Bougenville lebih dekat kepada masyarakat di kepulauan Solomon, namun mereka dipisahkan akibat koloni dari bangsa Eropa. Kedatangan militer Papua Nugini banyak membunuh perempuan dan anak. Untuk bertahan warga Bougenville akhirnya membentuk BRA (Bougenville Revolutioners Army) yang terus bergerilya melakukan perlawan. Dengan peralatan yang sederhana mereka terus melawan tentara Papua Nugini yang dibantu oleh helikopter yang dipiloti tentara Australia dan New Zealand.
Dalam keterbatasannya, pasukan BRA mulai merakit senjata sendiri. Semangat untuk memanfaatkan apa yang mereka punyai akhirnya tumbuh menjadi sebuah slogan ”Mekim Na Savvy” yang artinya belajar dengan berkarya. Senjata yang dibuat dari potongan pipa air oleh anak-anak muda Bougenville bahkan diklaim lebih cepat dan efektif dari senapan mesin/otomatis tentara Papua Nugini. Pada setiap senjata yang mereka buat akan diberi label ”Made In Meekamui” untuk menandaskan bahwa semua ini dibuat dari bahan-bahan yang ada di lingkungan mereka bukan dari bahan yang diimport. Meekamui berati tanah suci, tanah yang dibanggakan dan sekaligus harus dilindungi karena menjadi tempat hidup dan kehidupan mereka sendiri.
Tentara Papua Nugini yang tak mampu menghadapi gerilyawan BRA akhirnya mengalihkan sasaran pada warga sipil. Perkampungan diserbu dan rumah-rumah dibakar. Masyarakat akhirnya harus lari, bersembunyi dan hidup dalam hutan. Delapan tahun mereka tinggal di hutan. Banyak anak lahir dari hutan meski sebagian tak sempat menghirup udara kehidupan. Hidup dalam kondisi yang terbatas memberikan banyak pelajaran termasuk ingatan kembali kepada adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Ketiadaan obat-obatan membuat mereka mengingat dan meracik kembali ramuan-ramuan herbal dari kulit kayu dan dedaunan yang ada di hutan. Untuk melakukan perawatan muka dan rambut mereka memanfaatkan olahan buah kelapa. Bahkan minyak kelapa juga digunakan untuk menjadi bahan bakar (biofuel) bagi mobil rampasan dan generator yang menghasilkan listrik agar hidup tidak diliputi terus oleh kegelapan.
Anak-anak muda yang tidak sempat meneruskan sekolahnya juga terus berkarya dan mengembangkan kreatifitas. Salah satu karya mereka adalah listrik bertenaga air (hydro electric) yang peralatannya diambil dari rongsokan bekas tambang. Pagar-pagar besi dari tambang bahkan tetap bisa dimanfaatkan untuk jadi paku yang akan memperkuat bangunan rumah mereka. Saat blokade mulai mengendur mereka akhirnya bisa kembali ke kampung secara terang-terangan.
Kehidupan harus terus berlanjut, kaum perempuan Bogenville terus berjuang untuk meningkatkan sumberdaya manusia masyarakatnya dengan mendirikan sekolah swadaya masyarakat. Tiga tahun pertama anak-anak akan belajar bahasa daerah hingga kemudian diteruskan dengan pelajaran lainnya. Sekolah kejuruan juga didirikan terutama untuk mempelajari ketrampilan rekayasa teknik, kesehatan dan pertanian. Untuk tetap mempertahankan kelestarian alam, pola pertanian yang mereka gunakan adalah pertanian permakultur yang memanfaatkan kesuburan alami di hutan mereka. Sejak semula pengunaan insektisida dan bahan penyubur kimiawi mereka hindari.
Perempuan dan masyarakat Bougenville terus mengukir sejarah kehidupan mereka, mungkin bukan sebuah catatan sejarah yang besar. Namun dari sebuah kepulauan kecil yang berpenduduk kurang dari 200 ribu orang itu ada sebuah pelajaran besar bahwa hutan bisa menjadi ’supermarket’ kehidupan apabila kita bangga dan mampu menjaganya. Mereka tanpa menebangi pohon dan mengeruk mineral di dalam tanahnya mampu menghasilkan benda dan energi yang membantu kehidupannya.
Pemusnahan Ekologis (Ecosida) terus berlangsung disekitar kita dan bumi nusantara menjadi semakin renta, akibatnya sudah terasa lewat seringnya kejadian bencana lingkungan dalam bentuk banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, polusi, kekeringan dan kekurangan air bersih yang menyebakan kematian ribuan rakyat serta kerugian material yang tak terhitungkan. Maka menyelamatkan bumi dan sumber-sumber kehidupan rakyat dari kerakusan dan keserakahan para pemburu rente (untung sesaat) menjadi tugas dan tanggungjawab kita semua yang peduli pada kehidupan generasi sekarang dan masa mendatang. Jika pemerintah tak bisa melindungi sumber-sumber kehidupan masyarakat maka jangan halangi atau mempersulit inisiatif perlindungan yang tumbuh dan berbasis dari masyarakat. Dari Bumi Etam ini kita bisa melihat betapa sulitnya usaha masyarakat Wehea yang meminta penetapan hutan adat mereka agar bisa menjadi hutan lindung yang diakui oleh negara. Sebab tanpa pengakuan negara kekhawatiran akan masa depan, kelestarian hutan dan isinya akan selalu menghantui, karena tak ada mandat dan kewenangan apapun dari masyarakat untuk menolak investor yang datang dengan selembar surat kuasa dari negara untuk merombak hutan dan mengeruk mineral yang terkandung di dalamnya.
0 komentar: to “ Belajar dari Bougenville ”
Posting Komentar