Hati yang penuh syukur, bukan saja merupakan kebajikan yang terbesar, melainkan merupakan pula induk segala kebajikan yang lain.
(Cicero)


Kami Tak Henti Begadang  

Rabu, 08 Agustus 2007

Dari : www.kunci.or.id
Oleh : FARUK HT *
Bisakah dangdut menjadi musik bergengsi, apalagi penjaga gawang moralitas? Bisa iya, bisa tidak. Semuanya tergantung pada apa yang dimaksud gengsi, apa pula yang dimaksud moralitas itu. Semuanya juga tergantung siapa yang memberi makna terhadapnya.
Dangdut adalah musik yang digemari oleh kelompok masyarakat marginal atau yang termarginalkan, baik secara ekonomis maupun secara geografis. Dari segi ekonomis, dangdut merupakan musik yang digemari oleh masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah, misalnya para buruh di perkotaan. Dari segi geografis, ia merupakan musik yang hidup dan dihidupi oleh kelompok masyarakat yang ada di pinggiran, baik pinggiran kota, pedesaan Jawa, pesisir, ataupun luar Jawa yang menjadi pusat kekuasaan ekonomi, politik, dan bahkan kultural masyarakat Indonesia.
Ketika saya masih kecil, duduk di sekolah dasar di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, di akhir 1960-an, seingat saya apa yang disebut musik dangdut belum ada. Yang ada adalah musik Melayu. Di daerah asal saya itu musik Melayu ini hidup dan tersebar melalui pertunjukan-pertunjukan keliling yang dikenal dengan rombongan Orkes Melayu. Repertoirnya sebagian besar diambil dari lagu-lagu Melayu Deli dan Malaysia akhir-akhir ini mulai muncul lagi, misalnya "Bunga Nirwana" dan "Sabda Pujangga".
Karena saya masih kecil waktu itu, musik Melayu saya rasakan sebagai musik orang-orang tua atau setengah tua (paman saya seorang penyanyi yang tergabung dalam sebuah Orkes Melayu). Musik anak muda adalah musik pop yang diledakkan oleh antara lain Koes Plus dan kemudian disusul oleh The Mercy's, Pambers, dsb., dan selanjutnya kelompok-kelompok musik yang membawakan musik rock: Giant Step atau Godbless dengan Achmad Albarnya, AKA dengan Ucok Harahapnya, dan Rollies dengan Gitonya.
Musik Melayu dapat dikatakan tenggelam waktu itu. Baru pada awal '70-an, dengan kemunculan Rhoma Irama yang mengkombinasikan musik Melayu dengan musik pop dan rock, musik Melayu mulai memperoleh penggemar di kalangan anak muda. Namun, namanya segera berubah dari musik Melayu menjadi musik dangdut, meskipun jejak Melayunya tidak sepenuhnya hilang, baik dari segi iramanya, temanya, maupun penampilannya. Kelompok Rhoma Irama sendiri, waktu itu, menamakan dirinya masih sebagai orkes Melayu, yaitu Orkes Melayu Sonata.
Tapi, kehadiran Rhoma sama sekali tidak membuat musik dangdut menjadi terangkat ke lapisan atas masyarakat. Yang berhasil dilakukannya lebih merupakan revitalisasi dan reaktualisasi musik masa lalu itu ke masa kini. Tapi, dengan hidup kembalinya musik Melayu, ia justru kemudian menegaskan stratifikasi sosial yang menajam di dalam masyarakat sebagai akibat perkembangan teknologi informasi dan ekonomi Orde Baru. Kalau sebelumnya masyarakat lapisan bawah yang terbentuk sebagai akibat kebijakan ekonomi dan informasi Orde Baru seakan tidak mempunyai "corong", sarana kultural dan musikal untuk aktualisasi dan identifikasi diri, dengan Rhoma Irama, mereka memperoleh hal tersebut. Dengan demikian, jasa besar Rhoma terletak bukan pada mengangkat musik dangdut ke strata sosial yang lebih tinggi, melainkan menghidupkan dan mereaktualisasikan musik Melayu dan memberikan sarana ekspresi dan identifikasi diri pada masyarakat lapisan bawah.
***
Yang ingin saya katakan adalah bahwa dangdut adalah lagu masyarakat lapisan bawah dan tidak akan pernah serta bahkan sebaiknya tidak menjadi lagu lapisan atas masyarakat, lagu kelompok elite. Memang, seperti halnya Sri Mulat, lagu dangdut mulai mendapat ruang yang semakin luas dan bahkan terluas di televisi, sesuatu yang sebelumnya menjadi wilayah musik pop atau musik masyarakat dari lapisan yang lebih tinggi. Namun, kecenderungan itu lebih disebabkan oleh perkembangan daya beli masyarakat lapisan bawah itu sendiri bersama dengan perkembangan teknologi media massa yang menayangkannya. Ia dapat dipastikan sama sekali bukan akibat dari perkembangan cara penyajiannya, termasuk substansi musikal dan liriknya.
Perkembangan teknologi informasi telah memungkinkan dihasilkannya produk-produk rekaman musik yang semakin murah dalam jumlah yang semakin besar dan dengan tingkat penyebaran yang semakin cepat dan luas dan karenanya semakin terjangkau oleh masyarakat lapisan bawah. Dengan perkembangan ini masyarakat lapisan bawah itu menjadi pangsa pasar media dan iklan yang sangat besar pula. Iklan sendiri berhubungan dengan perkembangan industri di Indonesia. Semakin banyak dan beraneka komoditas yang ditujukan pada masyarakat lapisan bawah, semakin besar kepentingan industri untuk menjangkau masyarakat tersebut melalui media massa, terutama televisi. Dalam hubungan dengan iklan ini dapat pula dibuktikan bahwa betapa besar pun ruang yang tersedia di televisi untuk dangdut, ia tetap dipahami sebagai musik masyarakat lapisan bawah dan ditujukan pada masyarakat lapisan tersebut. Iklan-iklan untuk musik dangdut adalah iklan-iklan bagi produk-produk yang menjadi konsumsi khas masyarakat lapisan itu, misalnya obat kuat yang sangat penting bagi buruh yang telah bekerja keras secara fisik, obat kemampuan seks, obat sakit kepala atau penghilang penghilang rasa sakit lainnya, dan sejenisnya. Tidak akan ada iklan mobil mewah atau pakaian dan kosmetika mahal dipasang untuk menjadi sponsor musik dangdut.
Ike Nurjanah dan Iis Dahlia mungkin dua di antara sedikit penyanyi dangdut yang tampil berbeda, yang mengutamakan keindahan dan keanggunan daripada kekuatan dan seks, dalam menyanyi dangdut. Tapi, hal itu tidak akan dapat mengubah musik dangdut menjadi musik elitis. Keanggunan dan keindahan mereka sebenarnya sama saja dengan ungkapan perasaan yang halus yang muncul di banyak lagu dangdut. Tapi, kehalusan ungkapan perasaan dalam lirik itu tidak pernah menghapuskan irama dangdut sendiri, yaitu irama yang mengajak bergoyang ala film India: goyang yang berpusat di pinggul dan pinggang serta dada. Dangdut bukan musik yang mengajak orang berkontemplasi secara spiritual, melainkan mengajak orang bergerak dan bertindak secara fisik sebagaimana kehidupan sehari-hari masyarakat lapisan bawah.
Banyak pujian yang diberikan kepada Elvi Sukaesih dalam hal ketepatannya menyesuaikan gerak dengan irama dan tema lirik musik. Namun, sewaktu di kampung saya mulai ada televisi, TVRI waktu itu, ibu saya pernah jengkel sekali kepada Bapak saya karena ia memelototi Elvie Sukaesih di layar televisi. Tidak ada persoalan keselarasan irama atau apa pun namanya bagi penonton ketika mereka menonton atau mendengarkan musik dangdut. Yang ada adalah citra tubuh yang menonjol, citra kekuatan fisik dan seksual. Karena, pada hal itulah kehidupan masyarakat bawah bersandar.
Rhoma Irama dikenal sebagai penyanyi dan pengarang lagu dangdut yang berhasil menyisipkan pesan-pesan moral dalam lagunya. Apakah hal itu berarti dapat mengangkat musik dangdut keluar dari "comberan"? Tidak juga. Pertama, musik dengan ajaran moralitas yang eksplisit merupakan musik yang khas masyarakat lapisan bawah, bukan masyarakat lapisan atas yang cenderung abstrak, kosmopolit, dengan pandangan mengenai moralitas yang kompleks dan ambigu, dan dengan penanaman kemampuan intelektual yang tinggi dan kehalusan perasaan. Karena itu, penempatan ajaran moral yang eksplisit seperti yang dilakukan Rhoma Irama hanya menegaskan bahwa dangdut memang musik lapisan bawah masyarakat, musik yang ia sebut sebagai "comberan".
Kedua, masyarakat lapisan bawah punya cara dan kepentingan sendiri dalam menikmati dan menghayati musik dangdut, antara lain dengan menempatkannya sebagai alat identifikasi dan ekspresi diri. Sebagai kelompok masyarakat yang hidup dalam sistem stratifikasi sosial dan ekonomi yang sangat tajam dan menajam, menjadi tidak masuk akal bagi mereka untuk dapat merasa bersatu dengan kelompok sosial ekonomi yang ada di lapisan atas, yang ada di atas "comberan". Dalam sistem stratifikasi yang demikian, yang bisa mereka lakukan adalah bagaimana bisa hidup betah di comberan saja, bukan melakukan hal yang mustahil dengan keluar dari comberan itu. Salah satunya, dengan membalikkan makna comberan itu menjadi sesuatu yang lebih berharga.
Pada waktu saya remaja, salah satu lagu yang kami gemari dan nyaris menjadi lagu wajib adalah "Begadang". Meskipun lagu itu mengajarkan agar orang jangan begadang kalau tidak perlu, jangan begadang karena hal itu dapat merusak badan, kami tidak pernah tergelitik untuk berhenti begadang atau hanya begadang kalau ada perlunya. Saya pribadi, sebagai bagian dari masyarakat penggemar dangdut, merasakan bahwa justru dengan tetap begadang tanpa ada perlunya kami menegaskan identitas kami, menjadi bangga pada diri kami. Lagu itu, dengan demikian, kami gemari bukan sebagai petuah yang harus diikuti, melainkan petuah yang harus dilanggar. Adanya petuah itu, bagi kami, hanya menegaskan bahwa jalan kami memang lain dari mereka yang "begadang kalau ada perlunya".
Justru dengan tetap berada di "comberan", kami merasa bahwa kami lain dari mereka, dan bahkan kami mampu dan berani hidup dalam lingkungan yang mereka justru tidak bisa dan tidak berani melakukannya. "Comberan" sama sekali bukan hal yang menjijikkan dan hina bagi kami, melainkan sesuatu yang membanggakan. Begitupun dangdut dengan goyangnya, dengan citra kekuatan fisik dan seksnya. Bukankah banyak kelompok elit, kaum eksekutif dan kaya, yang kabarnya impotent? Bagi masyarakat lapisan bawah, kekuatan fisik dan seks, merupakan sesuatu yang membanggakan karena hanya itulah yang mereka miliki. Kalau hal itu dihilangkan dari dangdut, dangdut ditarik keluar dari comberan, masyarakat lapisan bawah tidak hanya kehilangan musik, tapi juga kehilangan identitas dan sekaligus eksistensi serta kebanggaan mereka.
Bersatulah penggemar dangdut Indonesia.
* pengajar pada Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

AddThis Social Bookmark Button

Email this post


0 komentar: to “ Kami Tak Henti Begadang

 

Design by Amanda @ Blogger Buster

Google Custom Search

Kolom blog tutorial